Siapapun
punya peluang jadi pemenang. Kesempatan mengubah nasib menjadi lebih baik.
Kemenangan berada di antara takdir dan perjuangan. Takdir memang ada dan tak
bisa dibantah, tapi setiap orang diperintahkan untuk berusaha.
“Untuk
kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja” Ash-Shafat
ayat 61.
Dalam
pepatah Arab dikenal satu semboyan yang sangat sering kita dengar, Man jadda wa
jada. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha ia akan mendapatkan hasil.
Takdir
menjadi salah satu persoalan yang tidak mudah dipahami. Pemahaman yang keliru
justru akan menjadi belenggu yang melemahkan. Padahal takdir menjadi faktor
penting dalam pembentukan karakter seorang Muslim. Karena takdir menjadi salah
satu bagian dari rukun iman. Di sinilah perlunya kita melihat dan memahami
takdir secara benar agar mampu menumbuhkan sikap-sikap positif sebagai bagian
mengubah nasib.
Dalam
Islam, takdir biasa dikenal dengan qadha dan qadar. Qadha berarti keputusan dan
qadar berarti ukuran. Pemaknaan yang keliru akan takdir ini konon menjadi salah
satu sebab kemunduran Islam. Bahkan ada golongan yang beranggapan manusia tidak
memiliki kemampuan. Semua telah ditetapkan Allah dan manusia hanya pasrah
menerima. Segala aktivitas disandarkan pada ketetapan Allah hingga menumbuhkan
kemalasan dalam berusaha.
Dalam
satu riwayat, Ali bin Abi Thalib pernah juga ditegur Rasulullah. Suatu malam
Rasul mengunjungi rumah Ali, yang juga menantunya. Ali sudah tidur waktu itu
padahal hari belum terlalu malam.
Nabi
pun berkata, “Alangkah baiknya kalau sebagian waktu malammu digunakan untuk
shalat sunat.”
“Ya
Rasulullah, diri kita semua ini berada dalam genggaman kekuasaanNya. Jika Dia
menghendaki, tentu dilimpahkan rahmatNya kepada kita, dan jika Dia tidak
menghendaki tentu ditarik kembali rahmat itu,” jawab Ali
Mendengar
jawaban itu Rasul pun berpaling dan mengatakan, “Sungguh manusia itu amat
banyak membantah.”
Ketidaksetujuan
Rasul terhadap jawaban Ali, dapat dimaknai kita tidak boleh hanya bergantung
pada kehendak Allah tanpa disertai usaha. Sebab Allah memberi kesempatan kepada
kita untuk berikhtiar.
Adanya
takdir adalah untuk diimani bukan dijadikan alasan. Takdir tidak boleh
dijadikan alasan sebagai penyebab seseorang menjadi bodoh, miskin, malas dan
semacamnya.
Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyah menyatakan, takdir hanya boleh diimani dan tidak boleh
dijadikan hujah. Barangsiapa berhujah dengan takdir, hujahnya tertolak. Siapa
yang beruzur dengan takdir, uzurnya tak bisa diterima. Allah telah menetapkan
suatu hukum sebab akibat. Seandainya Allah menyediakan kebaikan tetapi kita
tidak mengambilnya, tentu tidak akan kita dapatkan.
Misal,
sudah menjadi takdir bila kita menanam biji padi maka akan tumbuh padi. Jika
kita menginginkan memanen padi, maka yang kita tanam adalah biji padi, bukan
jagung atau lainnya. Di sinilah kedudukan usaha yang kita lakukan.
Lebih
lanjut Ibnu Taimiyah menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan perlunya
manusia berusaha.
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu.” (At-Thaghabun [64]: 16).
Dalam ayat lain, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang mampu mengerjakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali ‘Imran
[3]: 97)
Manusia
punya peluang untuk melakukan kebaikan atau meninggalkan keburukan. Melakukan
keburukan lalu menyandarkan kepada takdir hanya menjadi ciri orang musyrik.
“Dan
berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami
tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak
kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)-Nya."
Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban
atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An
Nahl [16]: 35)
Sebagian
ulama berpendapat perkara itu ada dua:
- Pertama, perkara yang dapat diupayakan.
Maka jangan lemah menghadapinya. Misalkan mengubah kebiasaan buruk menjadi
kebiasaan yang positif.
- Kedua, perkara yang tidak dapat
diupayakan. Seperti musibah atau datangnya ajal kematian.
Anda
dan saya tidak pernah tahu di depan sana mungkin saja terbentang kesuksesan.
Tentu itu semua tidak datang dengan sendirinya sementara kita berpangku tangan.
Bangkitlah siapa tahu Anda dan saya sebetulnya ditakdirkan menjadi orang yang
super sukses